Aangedryf deur Blogger.
Geplaas deur Unknown

Kisah Khalifah Ali Bin Abi Thalib RA (tahun 35-40 H/656-661 M)

Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah saw. Beliau adalah anak Abu Thalib, paman Rasul. Beliau juga adalah suami dari Fatimah azZahra, puteri Rasul. Ayah dari Hasan dan Husein, dan dari sinilah berkembang keturunan Rasulullah. Setelah khalifah Utman terbunuh, terjadilah pergolakan politik. Dan sebagian besar kaum Muslim secara aklamasi memilih serta menunjuk imam Ali sebagai khalifah. Namun ada sebagian golongan yang tidak menyukai diangkatnya Ali sebagai khalifah, karena mereka juga menginginkan tahta tersebut dan khawatir akan musnahnya kenyamanan yang mereka peroleh selama ini apabila Ali menjabat sebagai khalifah. Karena Ali dikenal sebagai orang yang sangat keras dan disiplin serta perhitungan dalam mengeluarkan harta negara. Dalam merealisasikan usahanya, Ali menghadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dirancangnya dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan beberapa pribadi dan kelompok. Pada mula-mula Ali menghadapi tantangan dari Ummul Mukminin Aisyah ra. dalam perang jamal, perang ini terjadi karena pihak Aisyah menuntut bela atas pembunuhan Utsman bin Affan, sedangkan faktor internnya adalah hasutan dari keponakan Aisyah yang juga menginginkan tahta kekhalifahan. Maka terjadilah peperangan antar saudara ini. Kemudian majulah Muawiyah dan pengikutnya menentang pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Maka mereka pun bertemu dalam perang Shiffin antar laskar Ali bin Abi Thalib dan laskar Muawiyah. Selain perang jamal dan perang shiffin, Ali juga menghadapi tantangan dari pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh kaum khawarij. Maka pada masa pemerintahan kekhalifahan Ali bin Abi thalib banyak diwarnai pergolakan-pergolakan dan peperangan, sehingga pemerintahan Ali pun tidak dapat bertahan lama. Ali wafat terbunuh oleh pemberontak dari kaum khawarij. Ali Bin Abi Thalib Menjadi Khalifah Terbunuhnya Amirul Mu’minin, Utsman bin Affan, telah mengakibatkan kekacauan dan kemarahan besar umat islam di Madinah. Hal itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya umat islam khawatir akan terjadi bencana setelah mengetahui bahwa pemegang tampuk pemerintahan kosong. Mereka juga melihat imam Ali bin Abu Thalib adalah sosok yang pas untuk memegang jabatan khalifah setelah Utsman Rakyat terbanyak, mereka menanti-nantikan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Oleh karena itu pembai’ahan Ali adalah pembai’ahan dari rakyat terbanyak. Mereka segera datang kepada Ali untuk membai’ah beliau. Sebagaimana diketahui bahwa musuh Ali itu banyak. Di antaranya ada yang menyembunyikan permusuhan itu, dan ada yang menyatakannya terang-terangan. Kengkatan Ali dapat ditinjau dari berbagai jurusan. Bahwa yang tiada menyukai Ali diangkat menjadi khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak, tetapi segolongan kecil (keluarga Umayyah) yaitu keluarga yang pemuda-pemudanya telah banyak tewas dalam peperangan menantang islam. Sekarang mereka tergolong kaum elite, cabang atas. Mereka menantang Ali karena khawatir, kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali. Dengan memperhatikan suasana pembai’ahan Ali, dapat diambil kesimpulan bahwa pembai’ahan itu bukanlah dengan sepenuh hati kaum muslimin. Terutama bani umayyah, merekalah yang mempelopori orang-orang yang tidak menyetujui Ali. Ali mempunyai watak dan pribadi sendiri, suka berterus-terang, tegas bertindak dan tak suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Disebabkan oleh kepribadian yang dimilikinya itu, maka sesudah ia dibai’ah menjadi khalifah, dikeluarkannya dua buah ketetapan: memecat kepala-kepala daerah angkatan Utsman. Dikirmnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu terpaksa kembali saja ke Madinah, karena tak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya. mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Utsman kepada famili-famili dan kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapa pun yang tiada beralasan, diambil Ali kembali. Banyak pendukung-pendukung dan kerabat Ali yang menasehatinya supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapat tantangan dari keluarga Bani Umayyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangunlah Muawiyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali. Perang Jamal Dinamakan perang jamal (unta) karena pada saat itu siti Aisyah isteri Rasulullah dan puteri Abu Bakar asShidiq ikut dalam perang ini dengan mengendarai unta. Peperangan ini dipicu karena pasukan Aisyah menuntut agar dilakukan balasan setimpal atas terbunuhnya Utsman. Dalam perang jamal Thalhah dan Zubair menggabungkan diri dengan pasukan Aisyah. Sementara dari Yaman datang pula ke Makkah Ya’ali bin Umayyah – Gubernur angkatan Utsman – memberikan 600 keledai serta hartanya untuk disiapkan dalam menghimpun pasukan besar. Dari Basrah pun datang pula Abdullah bin Amir membawa harta yang banyak pula. Dan ditambah dengan keluarga Umayyah yang ada di Hejaz, mereka menggabungkan diri akan menuntut bela Utsman. Ketika telah sampai ke daerah yang bernama Marbad, pasukan Aisyah telah mencapai 3.000 orang yang di dalamnya terdapat sekitar 1.000 orang Persia. Dari Basrah, banyak umat islam yang hendak ikut tergabung bersama pasukan ummul mu’minin. Ada faktor penting lain yang diperkirakan mendorong Aisyah mengikuti perang jamal, yaitu faktor Abdullah bin Zubair, putera saudara perempuannya bernama Asma. Abdullah bin Zubair ini diambil Aisyah dari Asma, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan dididiknya di rumahya sendiri, karena Aisyah tiada dikaruniai anak. Oleh karena itu Aisyah biasa dipanggil Ummul Abdillah (ibunda Abdullah). Abdullah mempunyai ambisi hendak menduduki kursi khalifah, tetapi keinginannya itu terhalang karena Ali. Maka dihasutnyalah Aisyah – bibinya – untuk menceburkan diri ke dalam peperangan melawan Ali, siapa tahu kalau Ali gugur, kesempatan akan terbuka baginya, karena tak da lagi orang yang akan menyainginya. Dilihat secara umum, penduduk Basrah pecah dua, ada yang menyokong dan ada yang menantang. Antara kedua golongan ini terjadi perkelahian yang banyak memakan korban. Ratusan yang mati terutama dari golongan yang menantang Aisyah. Kemudian Ali datang dengan balatentara yang banyak jumlahnya. Pertama-tama diusahakannya supaya Aisyah dan pengikut-pengikutnya mengurungkan maksud mereka. Dan kepada beberapa orang di antara mereka, diperingatkan Ali akan bai’ah dan sumpah seti yang telah diberikan mereka. Nasehat Ali termakan oleh mereka. Diadakan perundingan yang hampir berhasil, kaum muslimin akan terhindar dari bahaya perang. Tetapi tanpa mendapat izin dari Ali, malah tidak setahunya, pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ memancing perkelahian dan dibalas oleh pengikut-pengikut Aisyah, maka terjadilah pertempuran antara dua golongan kaum muslimin, pengikut Ali dan pengikut Aisyah. Pertempuran dalam perang ini terjadi sangat segit, sehingga Zubair melarikan diri. Dia dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya, lalu dibunuh. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini. Akhirnya setelah unta yang ditunggangi ummul Mu’minin dapat dibunuh, maka berhentilah pertempuran dengan kemenangan di pihak Ali. Perang Shiffin Perang Shiffin adalah peperangan antara Ali dan Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan paman Utsman. Pemuka Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya. Dengan memperhatikan selintas lalu, akibatnya yang kelihatan ialah Ali menang, tetapi jika diperhatikan dengan teliti kelihatanlah bahwa perang jamal ini akibatnya sangat besar dan amat dalam dari yang kelihatan semula. Ribuan tentara Ali telah gugur. Hal ini telah melemahkan tentara Ali. Selanjutnya, pendukung-pendukung Aisyah yang terdiri dari kebanyakan dari penduduk Makkah, Madinah dan Basrah, ditambah dengan sahabat-sahabat Aisyah sendiri, telah gugur pula sebesar jumlah tersebut. Banyaknya kaum muslimin yang gugur, menimbulkan dendam dan kusumat terhadap Ali. Jika ditilik pula laskar Ali, kebanyakan dari mereka belum pernah sebelumnya berkenalan dengan Ali, dan belum pernah berhutang budi kepada Ali, jadi hubungan yang akrab tidak ada. Untuk merangkul mereka, Ali tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk menarik pahlawan-pahlawan dan orang-orang yang menyambung nyawa. Sekiranya kekayaan itu ada, Ali tidaklah akan gampang saja mengeluarkan harta kekayaan Tuhan itu, jika tidak pada tempatnya. Sementara kekuasaan Muawiyah telah berurat akar di Syam. Sebagai seorang politikus ulung dia dapat mempergunakan kesempatan. Dia tahu betul bahwa jalan yang paling dekat untuk memikat hati manusia ialah: pemberian dan tipu muslihat. Negeri Syam adalah negeri yang kaya raya, dan rakyatnya makmur. Semenjak mereka masuk islam, bahkan semenjak sebelaum daerah itu dimasuki islam, penduduknya belum pernah merasakan pemerintah yang selama dan semakmur yang dijalankan Muawiyah. Amr bin Ash juga menggabungkan diri dengan Muawiyah dan dia pun masih keluarga Umayyah juga. Banyak lagi orang-orang terkemuka dan suku-suku arab yang terang-terangan memihak Muawiyah. Sementara itu, Muawiyah sudah sejak lama dapat membentuk tentara yang disiplin di Syam. Perang jamal mengakibatkan gugurnya ribuan tentara Ali, berarti dia kehilangan tenaga yang baik. Sementara itu Muawiyah memperkuat laskarnya dengan membagi-bagi uang kepada merak dan pengikutnya, sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat. Mereka dapat dihasut Muawiyah menantang pembunuh-pembunuh Utsman. Baju gamis Utsman yang berlumuran darah dibentangkan Muawiyah di mimbar masjid. Berapa buah anak jari tangan isteri Utsman yang telah terpotong waktu dia menghambat pukulan-pukulan kaum pemberontak atas suaminya, ikut pula digantungkan Muawiyah pada baju gamis Utsman itu. Penduduk Syam menolak memberikan jabatan khalifah kepada Ali, karena hal itu menurut mereka berarti menyerahkan jabatan itu kepada Bani Hasyim untuk selamanya. Mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah itu hak kaum muslimin. Dan mereka memihak kepada Muawiyah karena kehidupan mereka bertambah baik dan makmur dibawah pemerintahannya. Dalam keadaan demikian, Ali maju dengan tentaranya ke Syam. Kedatangan Ali disambut oleh laskar Muawiyah. Kedua laskar bertemu di sebuah tempat dekat sungai Furat. Ali sudah berkali-kali meminta Muawiyah membai’ahnya dan bersatu dengannya, tapi Muawiyah tidak mendengarkan. Pertempuran terjadi di antara kedua laskar. Ali dengan keberaniannya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan laskarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Muawiyah yang sudah cemas, buru-buru memanggil Amr bin Ash. Dalam kondisi yang betul-betul kritis tersebut, Amr bin Ash mengusulkan mengangkat al-Quran tinggi-tinggi sebagai pertanda mengajak mengajak laskar lawan untuk melakukan tahkim kepada kitabullah. Laskar Ali menyambut dan mendukung rencana tahkim kepada al-Quran tersebut dan mendinginkan semangat untuk berperang. Akan tetapi berbeda halnya dengan Amirul mu’minin, beliau tetap bersikeras memberikan semangat kepada pasukannya agar tetap berperang dan dan tidak menghiraukan seruan musuh. Ali memberikan peringatan kepada laskarnya akan tipu-daya yang yang dilakukan Amr bin Ash. Tetapi seruan Ali tidak mendapat perhatian, malahan mereka memaksa Ali supaya mengumumkan bahwa perang dihentikan. Ali terpaksa mengikuti. Tahkim Kedua laskar memutuskan untuk memilih dua orang pelaku perdamaian (hakamain) dari kedua belah pihak. Muawiyah menugaskan Amr bin Ash sebagai perwakilan perdamaian dari pihaknya. Sedangkan dari pihak Ali ditunjuklah Abdullah bin Abbas,hanya saja kaum Khawarij dan penduduk Yaman menolak, mereka malah meminta Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi perwakilan perdamaian. Ali terpaksa menerima hal ini karena Abu Musa al-Asy’ari dipilih oleh suara terbanyak. Kedua perwakilan ini berkumpul pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya tidak terdapat keseimbangan dalam pertahkiman ini. Mereka bersepakat untuk menanggalkan pemimpin kedua belah pihak, yakni Ali dan Muawiyah. Maka tampillah Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash untuk mengumumkan hasil tahkim mereka ke hadapan khalayak. Amr bin Ash mempersilakan Abu Musa al-Asy’ari untuk maju terlebih dahulu. Maka majulah Abu Musa mengumumkan bahwa dia telah menurunkan Ali dari jabatannya. Tetapi setelah itu, Amr bin Ash maju mengumumkan bahwa dia setuju memperhentikan Ali, kemudian diumumkannya bahwa dia menetapkan Muawiyah. Peristiwa tahkim menimbulkan perpecahan pada laskar Ali. Kaum Khawarij mulailah memberontak dan meninggalkan Ali, dengan alasan Ali menerima tahkim, padahal kebanyakan kaum khawarij tadinya memaksa Ali supaya menerima tahkim. Mereka bukan tidak mengakui bahwa mereka tadinya mendesak Ali supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih menyalahkan Ali, kata mereka : “Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut pekataan kami, padahal engkau tahu bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus mempunyai pandangan yang jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan yang lebih tepat dari pendapat kami.” Kaum Khawarij tidak hanya meninggalkan Ali, malahan mereka juga melakukan berbagai pemberontakan dan pelanggaran di Irak. Ali masih berusaha mengembalikan mereka kepada kebenaran dengan berbagai cara, tapi tidak berhasil. Akhirnya Ali mengambil keputusan memerangi mereka. Walaupun diperangi, namun mereka tidak dapat dihancurkan. Karena kalau Ali dapat menghancurkan mereka pada satu waktu atau tempat, lantas di wktu atau di tempat lain timbul lgi laskar mereka yang baru. Demikian seterusnya. Maka merosotlah kekuatan dan kekuasaan Ali. Sementara di Syam kekuasaan dan kekuatan Muawiyah semakin kuat, ditambah lagi Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah bin Umar juga menggabungkan diri dengan Muawiyah. Wafatnya Ali Bin Abi Thalib Pada tahun 40H, tiga orang Khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, Barak bin Abdillah at-Tamimy dan Amr bin Bakr at-Tamimy, berkomplot untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash. Karena menurut tiga orang Khawarij ini ketiga pemimpin inilah yang menyebabkan banyaknya pertikaian, perselisihan dan peperangan. Maka Abdurrahman bin Muljam berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali. Dia berhasil membunuh Ali dengan pedangnya pada saat Ali sedang memanggil orang untuk sholat. Orang-orang yang sholat di masjid itu dapat menangkap ibnu muljam, yang kemudian setelah Ali berpulang ke rahmatullah dia dibunuh. Adapun Barak dapat menikam Muawiyah, tetapi tidak sampai membawanya mati. Sedangkan Amr bin Bark telah menantikan Amr bin Ash keluar untuk sholat subuh, tetapi beliau tidak keluar, karena kesehatannya terganggu. Dengan berpulangnya Ali ke rahmatullah habislah masa pemerintahan al Khulafaur Rasyidin.

Geplaas deur Unknown

Kisah Teladan Khalifah Umar Bin Khattab r.a. Suatu masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu. Putus asa mendera di mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.” Umar menabukan makan daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu, hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.” Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya. Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak. Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang. “Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam. Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci. “Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar. Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….” “Apakah ia sakit?” “Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.” Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya. Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?” Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!” Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?” Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala. “Buat apa?” Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.” Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.” Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu. Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….” Dengan wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?” Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika terseok-seok Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum menuju ke tempat wanita dan anak-anaknya yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat wanita tersebutk kemudian khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya. Tatkala gandum tersebut sudah masak Khalifah Umar meminta sang ibu membangunkan anaknya. “Bangunkanlah anak untuk makan.” Anak yang kelaparan tersebut bangun dan makan dengan lahapnya. Anak tersebut kembali tertidur dengan perut yang telah kenyang. “Wanita itu berkata, terimakasih, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan pahala yang berlipat.” Sebelum pergi khalifah Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui khalifah Umar bin Khattab ra, karena khalifah akan memberikan haknya sebagai penerima santunan negara. Esok harinya pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah untuk menemui khalifah Umar bin Khattab ra, dan tatkala wanita tersebut bertemu dengan khalifah Umar, betapa terkejutnya wanita tersebut, bahwa khalifah Umar adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam. sumber .